EPIPANI: IA DATANG untuk …. Kita pergi untuk mencari ….

Banyak orang pergi mencari pekerjaan. Sebab mereka membutuhkan sandang, pangan, papan dll. Manusia semakin merasakan kebutuhan yang semakin meningkat saja. Maka pekerjaannya harus menjawab kebutuhannya itu. Antara fakta dan rasa ada kalanya bergeser. Apakah kebutuhan mereka itu fakta atau rasa? Itulah masalah yang harus dijawab oleh kesadaran. Sejumlah ceritera orang tua mengenai anak remajanya cukup menarik untuk saya renungkan.

Ini sekedar contoh: Lebih dari setahun anaknya menabung uang jajannya. Ketika dirasa cukup baginya untuk membeli HP, tabungan itu dibuka. Ternyata hasil tabungan itu masih kurang sedikit untuk harga sebuah HP yang diinginkan. Dengan agak terpaksa orang tua menambah kekurangannya. Begitulah contoh ceritera. ”So, he is a new young executive”. Tuan muda ini siap mengatur hidupnya dengan benda canggih, “jimat baru”, kebanggaannya. Apa yang dicarinya? Saya bisa salah menilainya dengan mengatakan bahwa rasa gengsinya 90% dan kebutuhannya 10%. Tetapi bagaimana dapat ditegaskan mengenai kesadaran diri? Menjadi tidak berlebihan bila kita menilainya dari pengaruh jaman dan lingkungan pergaulannya. Begitu pula anak-anak muda yang pergi merantau ke kota-kota besar, mereka mencari uang untuk memanjakan perasaannya yang sejaman dengan iklim pergaulan yang ada sekarang ini. Ada saat-saat yang tepat untuk menampakkan gengsinya. Biasanya itu terjadi pada saat-saat pulang kampung, lebaran, Natalan. Tabungannya selama setahun habis dalam beberapa hari untuk rasa gengsi. Bisakah sikap macam itu terjadi pada orang yang umurnya pantas dewasa? Apa yang mereka cari lebih lanjut? Gambarannya, dalam gelap orang mencari apa saja sekenanya. Siapa yang gelap dan siapa yang terang?

Kebenaran, kebebasan dan Terang adalah milik Allah. Karunia itu diberikan secara gratis kepada mereka yang dicintai-Nya. Diberikan secara gratis karena memang tidak terbeli dan amat mahal harganya. Dunia tidak mampu untuk memberikan karunia macam itu. Telah lama karunia itu ditawarkan dan diberikan kepada manusia. Namun kegelapan akibat kesalahan manusia (disebut dosa) itu benar-benar menghalanginya. Pada peristiwa Natal, Allah yang menjelma menjadi manusia, karunia itu datang. Ia tidak bisa kita terima dengan rasa belaka, bahkan dengan pikiran yang paling pandai sekalipun. Sikap Allah yang demikian sederhana ini membutuhkan iman melalui sikap sederhana pula, jujur, (saya yakin) mau menjadi suci.

Apa yang nampak bagi para majus itu tidak nampak bagi Herodes. Usaha para majus yang menampakkan kesungguhan, sebab datang dari jauh, itu merupakan tuntunan untuk menemukan sumber Cahaya-Terang. Ketika mata-kepala melihat Cuma seorang bayi kecil di hadapannya, kesadaran tidak menolak-Nya. Bahkan mereka menunduk untuk memberikan yang terbaik dari apa yang mereka bawa. Tidak cukup mereka membawa rasa. Mereka membawa kebersamaan dalam persaudaraan (bertiga atau lebih?), emas-kemenyan-mur (ungkapan religius, kedalaman jiwa manusia: pantas bagi Raja, tujuan hidup bahkan Allah sendiri). Kesederhanaan mereka nyata pada keterbukaan hatinya pada tanda-tanda jaman, sudi bertualang dalam hal beriman, mau percaya pada orang lain, bersedia merendahkan diri (lih. Misa Hari Minggu dan Hari Raya, hal. 200).

Sinar itu menjadi menjadi terang bagi mereka yang sudi membuka kesadarannya untuk jujur, sederhana, religius (berkembang imannya). Orang beriman menjadi sadar akan panggilannya berkat kegigihannya berjuang dalam kebenaran tanpa takut salah. Karena Ia datang untuk memberi Terang, dan kita mencari kebenaran, kebebasan dan damai. Ternyata pertemuan antara Terang-Kebenaran-Kebebasan-Damai itu terjadi dalam bayi sederhana, Yesus, yang kemudian akan menjadi Kristus, Sang Terurapi. Semuanya menjadi nampak berkat iman kepada-Nya. Kita melihat-Nya bukan hanya dengan mata kepala belaka, namun mata jiwa-iman kita berkat karunia-Nya.

Tidak ada komentar: